Hingar-bingar suara musik terdengar dari pojok Kampung Rawa Laut, Kelurahan Panjang Selatan, Panjang, Kota Bandarlampung.
Kawasan yang lebih dikenal dengan Pantai Harapan itu adalah eks lokalisasi yang secara resmi telah ditutup bertahun-tahun lalu, namun aktivitas transaksi seks, di antaranya melibatkan pekerja seks anak dan remaja masih terus berlangsung secara diam-diam di sini.
Semakin dekat langkah kaki, suara itu pun kian keras dan makin bersahutan dari rumah yang satu ke rumah lainnya hingga memekakkan telinga yang mendengarnya.
Sejumlah wanita berdandan menor, mengenakan rok di atas lutut dan baju setengah terbuka terutama pada bagian dada, berdiri di teras rumahnya, satu di antara mereka nampak masih berusia belia.
Sepanjang kaki melangkah di kawasan ini, antara satu rumah dengan rumah lainnya memiliki jarak yang sangat dekat.
Hampir setiap rumah terpampang sebuah papan nama bertuliskan karaoke dan kafe, masing-masing telah diberi nama sesuai dengan selera sang pemilik rumah tersebut.
Beberapa papan nama terdapat satu kalimat "Kawasan Wajib Kondom", namun masih banyak juga papan nama yang tidak mencantumkan peringatan tersebut.
"Kalau siang begini tidak begitu ramai, nanti selepas waktu Shalat Isya, mobil-mobil berangsur-angsur datang di kampung ini dan suasana malam akan semakin hidup, layaknya diskotik," kata Ketua Kelompok Pendidikan Masyarakat eks lokalisasi itu, Alwani.
Ternyata, beberapa rumah di sini masih ada yang secara tegas menuliskan pada pintu rumahnya, "Rumah Tangga".
Menurut Alwani, artinya rumah tersebut, anggota keluarganya tidak terlibat dalam perdagangan seks seperti kebanyakan rumah-rumah di sekitarnya.
Bapak tiga anak ini menceritakan, kampung itu terkenal sebagai kampung eks lokalisasi, mengingat sebelum era kepemimpinan Wali Kota Bandarlampung Nurdin Muhayat, kawasan tersebut pernah dilegalkan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung sebagai salah satu perkampungan lokalisasi (selain lokalisasi Pemandangan di Way Lunik, Telukbetung Selatan).
Perda Kota Bandarlampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tunasusila dalam Wilayah Kota Bandarlampung menjadikan dua kawasan lokalisasi itu harus ditutup secara resmi, namun aktivitas di dalamnya terus berlangsung hingga kini.
Setiap pekerja seks komersial (PSK) ketika itu diberikan identitas kartu kuning oleh pemerintah, tapi pada era Wali Kota Nurdin Muhayat, perkampungan ini tidak lagi mendapatkan dukungan dari pemerintah sebagai kawasan lokalisasi, ujar Alwani lagi.
Meskipun secara hukum kawasan tersebut telah dicabut status sebagai lokalisasi resmi, namun seperti ada kesepakatan tak tertulis, untuk saling melindungi satu dengan lainnya, sehingga suasana malam masih terus menyala dan membara di kampung itu.
Aktivitas perdagangan seks pun terus berlanjut.
Mantan Ketua RT 13 Kelurahan Panjang Selatan itu juga mengemukakan, sebenarnya keberadaan eks lokalisasi tersebut justru seperti saling menguntungkan satu dengan lainnya, secara ekonomi, sekalipun warga asli penduduk di sana merasa terganggu dengan aktivitas ilegal itu.
"Di sini ada warung atau rumah makan, ada rumah tangga yang menyediakan jasa cuci pakaian, penjualan air mineral dan air untuk kebutuhan MCK, bahkan tukang becak dan perahu yang menuai keuntungan," ujar dia lagi.
Semua aktivitas perekonomian di perkampungan tersebut berjalan lancar dan saling menguntungkan, bahu membahu satu sama lain.
Bayangkan saja, ujar Alwani, jasa tukang becak untuk mengantarkan tamu ke dalam kawasan tersebut dengan jarak tempuh tidak lebih dari satu kilometer, tarifnya bisa sebesar Rp30 ribu.
Tamu-tamu yang datang adalah mereka yang rata-rata merupakan pekerja pabrik dan pekerja di pelabuhan sekitarnya (Pelabuhan Panjang).
Guna menjaga keamanan kampung tersebut agar tidak terganggu oleh orang yang dianggap tidak suka dengan aktivitas malam di sana, warga juga ada memanfaatkan dengan menarik uang keamanan senilai Rp1.500 setiap PSK, kata dia lagi.
Secara ekonomi, kehidupan warga di kampung tersebut sangat ditopang keberadaannya oleh eks lokalisasi tersebut.
Namun di sisi lain, ada sebuah generasi yang hampir pasti akan mencontoh kehidupan yang mempertontonkan perilaku asusila di tempat ini.
Pengaruh Lingkungan
Sebut saja Mawar (17), dan Melati (19), yang masih tergolong remaja belia, akhirnya mencontoh kehidupan orang-orang di sekelilingnya, mengingat setiap saat melihat apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya itu.
Kedua remaja tersebut memilih menjadi kupu-kupu malam, karena alasan ekonomi dan pengaruh orang sekitarnya.
Menurut pengakuan mereka, pekerjaan itu ditekuni sejak tiga tahun lalu.
Mereka mengaku cukup menyukai kehidupan tersebut, karena setiap kali usai melayani lelaki hidung belang, gadis-gadis itu mampu mengantongi uang untuk jajan dan keperluan lain, sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta per malam.
"Tergantung selera tamu, jika tidak ingin pakai kondom, maka tarifnya akan lebih besar lagi, karena `kan resikonya besar," ujar Mawar, sambil menyisir rambutnya yang tergerai itu dengan jarinya.
Kedua gadis remaja tersebut mengaku tidak lagi melanjutkan sekolah, karena bagi mereka sekolah itu tidak penting.
Tapi, mencari uang dan mengikuti selera serta gaya hidup seperti umum dilakukan orang-orang di sekitar mereka itulah yang jauh lebih diutamakan.
"Kami dulu sempat mengkonsumsi obat-obatan terlarang, rasanya nyaman saja, setelah bekerja keras minum obat-obatan seperti melayang, seolah-olah masalah hidup ini lenyap pada saat itu," ujar Melati lagi.
Kehidupan yang mereka jalani selama ini, menurut keduanya, akibat faktor pengaruh dari sang pacar dan teman sekitarnya.
Namun Mawar dan Melati mengaku lambat laun sebenarnya tetap ingin meninggalkan profesi tersebut, dan kembali pada kehidupan normal selayaknya.
"Mau `sih kembali pada kehidupan yang normal dan mencari uang dengan cara yang halal, apalagi orang tua saya sudah meninggal, dan ingin membuat mereka tenang di alam sana," ujar Melati.
LSM Crisis Children Center (CCC) Lampung mengungkapkan, anak usia sekolah SMA antara 16-17 tahun memang makin rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Bandarlampung ini.
Ketua Harian CCC Lampung, Murti Rahayu mengatakan, kasus-kasus ESKA yang umum terjadi di Bandarlampung adalah kasus anak yang dilacurkan, pornografi anak, dan trafficking (perdagangan/jual beli) anak untuk tujuan seksual.
"Dalam dua tahun sejak bulan Mei 2010 hingga Mei 2012, CCC Lampung didukung oleh Save the Children Indonesia, telah melakukan pendampingan terhadap 130 orang anak korban ESKA di wilayah Bandarlampung," kata Murti pula.
Pendampingan tersebut melalui pemberdayaan dan pendidikan terhadap 130 orang anak korban eksploitasi seksual komersial, dengan rentang usia bervariasi mulai dari 14-17 tahun.
"Korban ESKA, selain mendapat konseling, juga kami didik untuk mengasah keterampilan, agar nantinya mereka bisa hidup mandiri yang lepas dari ketergantungan mengeksploitasi diri," kata dia lagi.
Menurut Murti, selama melakukan pendampingan terungkap, usia 14 tahun menempati posisi terendah dalam eksploitasi anak, yakni hanya tujuh persen.
Disusul usia 15 tahun dengan 25 persen, usia 16 tahun dengan 32 persen dan terakhir dengan jumlah tertinggi usia 17 tahun sebanyak 36 persen, ujar dia.
Seluruhnya korban Eska adalah anak yang berjenis kelamin perempuan.
Sementara korban ESKA sendiri, umumnya, kata dia lagi, tidak memandang status apakah korban masih berstatus pelajar atau sudah putus sekolah.
"Anak yang putus sekolah mencapai 81 orang anak (62 persen). Mayoritas mereka yang putus sekolah karena alasan ekonomi atau dari keluarga yang kurang mampu, sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan," kata dia.
Faktor ekonomi itulah yang menyebabkan anak terjebak menjadi korban ESKA, meskipun ada faktor-faktor pendukung lain yang mempengaruhinya.
Sedangkan PSK anak-remaja yang masih bersekolah mencapai 49 orang anak (38 persen).
Menurut Murti lagi, mereka umumnya terpengaruh pergaulan dengan teman, lingkungan keluarga yang kurang harmonis, atau pun gaya hidup modern sebagai faktor yang menyebabkan anak yang berstatus masih sekolah tersebut terjebak menjadi korban ESKA.
Anak-anak dan remaja yang semestinya mendapatkan hak pendidikan dan pendampingan penuh dari kedua orangtuanya itu, serta didukung oleh pemerintah untuk menentukan masa depan mereka, kini seperti telah kandas.
Padahal mereka tetaplah harus menjalani kehidupan selanjutnya.
Siapakah yang semestinya paling peduli, dan harus berupaya terus menerus, untuk meluruskan dan mengembalikan pada kehidupan normal anak dan remaja pekerja seks komersial di Pantai Harapan itu? (ANT316/B014)
Editor: B Kunto Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar