Sabtu, 08 September 2012

Otong Mampu Tiduri 41 PSK dalam Semalam

Pulogadung Sosok Otong pada masa muda memang sangat gagah. Itu terlihat dari sejumlah foto yang ditunjukkannya. Otong merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Ali Agus dan Enok.

Ali, ayah Otong, adalah pemuda betawi keturunan Tionghoa. Sedangkan ibunya Eni adalah wanita asal Sumedang, Jawa Barat. Ali berprofesi sebagai Polantas di Pasar Baru, sebelum akhirnya dipecat dari kepolisian karena berkelahi dengan sesama polisi.

Karena masih berdarah Tionghoa, Otong muda adalah pemuda yang bersih dan berkulit putih. Menurut Otong, jika ia tertarik kepada perempuan pada waktu itu, ia pasti mampu mendapatkannya. Dari semua petualangan cintanya, pengalamannya bercinta dengan 40 PSK dalam semalam adalah yang tak bisa terlupakan.

Kini di usianya yang menginjak 63 tahun, Otong mengaku sudah kenyang dengan pengalaman hidup. Ia juga sudah berhenti dari kegemarannya terhadap perempuan sejak divonis menderita diabetes 9 tahun lalu. (bum)

Razia PSK di Tegal

psk razia antara

TEGAL, 8/9 - RAZIA PSK. Petugas mengambil darah wanita pekerja seks komersial (PSK) yang terjaring razia di hotel melati, Tegal, Jateng, Jumat (7/9) malam. Razia PSK gabungan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Polres Tegal Kota dan TNI di hotel - hotel melati dan warung remang - remang tersebut menjaring 6 PSK dan 1 waria yang kemudiaN diberi pembinaan serta pengambilan darah antisipasi penyakit HIV/AIDS. FOTO ANTARA/Oky Lykmansyah/ed/ama/12

Bukannya Dibayar, PSK Ini malah digetok Kapak

PSK-ABG Lasmi (43), seorang pekerja seks komersial, terpaksa perlu pertolongan medis. Sebab, kepalanya digetok dua kali dengan kapak bergagang kayu oleh Purwanto (24), pengguna jasanya yang tidak mau bayar.

Menurut aparat Kepolisian Sektor Tanah Abang, Purwanto kini sudah ditahan.

Purwanto ditangkap warga setelah Lasmi berteriak minta tolong akibat kepalanya digetok dengan kapak oleh pelaku. Peristiwanya di kamar sewaan di Jembatan Tinggi RW 09, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu lalu sekitar pukul 13.00.

Korban dan pelaku bertemu di pingir jalan di Tanah Tinggi. Keduanya sepakat untuk "ngamar", dengan pelaku harus membayar kepada korban Rp 60.000. Keduanya pun berhubungan intim.

Ketika Lasmi memakai kembali pakaiannya, tiba-tiba kepalanya dipukul pelaku. Dia pun berteriak minta tolong dan orang banyak akhirnya menangkap Purwanto.

Rabu, 05 September 2012

Nikita Mirzani Jadi PSK

nikita-mirzani-eksplorasi-peran-psk-20120905110501 Aktri penuh sensasi Nikita Mirzani siap beraksi di layar lebar. Beberapa film yang dibintanginya siap tayang tahun ini, tercatat 4 filmnya akan segera diedarkan selama Oktober sampai November.

Seakan tidak puas dengan jumlah film yang telah dibintanginya, Nikita bakal melakoni syuting film bertema horor nakal September nanti. "TRAUMA judulnya. Di situ jadi perempuan binal, kayak udah jadi pelacur profesional gitu. Orangnya cuek, cablak kalau ngomong. Kayak gue sehari-hari lah, tapi sisi pelacurnya mah nggak," tuturnya saat ditemui di Ali Tattoo Sulam, Mangga Dua Square, Jakarta Barat, Selasa (4/9).

Tak ingin berperan asal-asalan, Nikita mengaku mendalami perannya dengan mendatangi langsung tempat yang mempunyai imej dekat dengan kehidupan malam. Ia serius mendalami perannya ini terlebih ini adalah peran pertamanya sebagai seorang pelacur.

"Kemarin sempet nanya-nanya. Iseng-iseng ke daerah Kota. Ngamati aja, cara binal sebenarnya. Sehari aja, ama panggil acting coach. Soalnya aku gak mau akting sembarangan, mentang-mentang masih laku. Pengen semuanya serius dari hati juga," ujar Nikita.

Baginya, memerankan sesuatu yang berbeda dalam setiap film adalah sebuah kewajiban sebagai aktris. Perannya sebagai PSK ini jelas jadi tantangan tersendiri baginya.

"Dari cara ngomong segala macam. Harus bener-benar yang kejam dan kena banget di hati," tutupnya. Aktris yang punya banyak tato ini bakal memulai syuting 7 September selama 15-20 hari.

(kpl/ato/dka)

3 Pemuda Cilacap diperas PSK

PSK-ABG JAKARTA - Tiga pemuda asal Cilacap Jawa Tengah yang baru beberapa hari menginjakkan kaki di Ibukota mengalami nasib sial.

Tiko Priastomo (20), Dwi Gunawan (19), dan Ahmad Kholid (19), terpaksa menyerahkan uangnya sebesar Rp. 317.000 dan tiga ponselnya setelah diperas kawanan pekerja seks komersil yang ditemuinya di jalan.

Peristiwa ini berawal saat ketiga pemuda tersebut hendak membeli sepatu untuk persiapan melamar kerja di pasar Jatinegara Jakarta Timur.

Saat menumpang angkot menuju kesana, mereka yang sudah turun di depan LP Cipinang didatangi tiga orang wanita yang menawarkan diri untuk mengantarkan mereka. Bukannya dibawa ke pasar Jatinegara, mereka justru dibawa keliling hingga sampai di sebuah kos-kosan.

"Saat jalan ke arah stasiun, lalu ditarik sama cewek-cewek itu, langsung ditempel tiga ojek disuruh naik. Hingga dibawa ke rumah, seperti kos-kosan gitu," ujar Tiko saat melapor di Polsek Jatinegara, Rabu (5/9/201).

Tiko menuturkan, sesampainya disana mereka langsung disuguhi makanan dan minuman ringan tanpa sebelumnya memesan ataupun ditawarkan oleh pelaku.

"Ketiga wanita tersebut kemudian membuka dua dus minuman berenergi juga menyediakan berbagai makanan ringan. Kami bingung karena merasa tak memesan dan tak tahu harus berbuat apa," lanjutnya.

Selang beberapa saat kemudian ketika mereka hendak meninggalkan tempat, alangkah terkejutnya mereka setelah salah seorang wanita memberikan selembar kertas yang berisikan sejumlah daftar tagihan dari apa yang mereka makan dan minum tersebut.

"Satu wanita mengeluarkan bon. Katanya kita harus bayar Rp. 1.850.000. Di situ tertulis ada biaya wanita yang menemani. Kacang kecil seharga Rp. 100.000, uang parkir Rp. 50.000. Padahal kami tidak ngapa-ngapain, parkir bagimana kan ke situ saja naik ojek," lanjutnya.

Melihat ketiga pemuda tersebut tidak ingin membayar dan hendak meninggalkan tempat, para wanita tersebut kemudian memanggil seorang pria bertato untuk meminta uang tagihan tersebut.

"Kami terpaksa memberikan uang Rp. 317.000 dan tiga ponsel karena pria tersebut mengancam jika kami tidak bersedia membayar, maka keselamatan kami taruhannya," jelas Dwi, pemuda lainnya.

Tak terima atas peristiwa tersebut, ketiganya kemudian mengadu ke paman salah seorang pemuda itu yang kemudian mengajak mereka kembali ke lokasi itu untuk memancing PSK juga  pria bertato tersebut. Sayang, dari tiga PSK, mereka hanya berhasil menangkap dua orang. Saat ini kasus tersebut masih ditangani Mapolsek Jatinegara.

Penulis: Wahyu Aji  |  Editor: Gusti Sawabi

Selasa, 04 September 2012

Razia PSK DI Tanah Abang

psk anak TANAH ABANG (Pos Kota)- Empat pekerja seks komersiil (PSK) dan 2 waria diciduk dalam razia yang digelar aparat Pemkot Jakpus Selasa dinihari (4/9). Selain itu aparat gabungan yang berjumlah 100 personil juga menggaruk 13 orang PMKS dari berbagai lokasi.

“Ya ampun, belum juga dapat jago udah keburu kena jaring. Apes bener,” keluh Wina, satu PSK.

Ia digaruk aparat saat mejeng di pinggir jalan kawasan Sawah Besar. Beberapa kawannya sesama PSK berhasil meloloskan diri.

Kasatpol PP Jakpus Jurnalis didampingi Kasie Operasi Bernard Pasaribu mengatakan razia yang dilakukan paska Lebaran tersebut lebih difokuskan pada kawasan yang selama ini memang rawan terhadap PMKS, PSK dan waria. Yakni wilayah Menteng, Kemayoran dan Sawah Besar.”Kita focus dibeberapa titik yang ada di tiga kecamatan tersebut,” jelasnya.

Dari razia yang dimulai tengah malam, aparat menangkap 2 waria, 4 PSK dan 13 PMKS dengan total berjumlah 19 orang. “Umumnya sih wajah lama. Hanya sebagian kecil yang pemain baru,” katanya.

Upaya penertiban tersebut dijelaskan Jurnalis merupakan implementasi dari Perda No 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum. Siapapun yang dinilai melanggar ketertiban umum, maka pihaknya tak segan menertibkannya. Selanjutnya para PSK, waria dan PMKS tersebut dikirim ke Panti Sosial Kedoya di Jakbar dan Panti Sosial Cipayung, Jaktim.

Selain menertibkan PMKS, tambah Jurnalis, pihaknya juga menertibkan spanduk liar dari seluruh kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Spanduk yang ditertibkan bukan hanya spanduk liar yang berisi promosi suatu produk, namun juga spanduk dua pasangan Cagub-Cawagub. “Kami berhasil menurunkan paksa 50 spanduk liar,” pungkasnya. (inung)

Minggu, 02 September 2012

Seorang Pria Tewas Setelah Ngamar dengan PKS

SEMARANG - Seorang pria bernama Senen (50) warga Jl Kemuning, Kelurahan Sendang Mulyo, Kota Semarang ditemukan tewas usai ngamar dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) bernama Siska pada Minggu (2/9) pagi.

Senen diduga mengalami serangan jantung usai bermain cinta di sebuah kamar wisma Mia, di Dusun Senden, Desa jatijajar, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.

Keamanan komplek lokalisasi yang terkenal dengan nama Tegal Panas, Triyatno (52) mengatakan, kejadian itu terjadi sekitar pukul 10.00. Ketika itu, korban yang menurut dugaannya penjual krupuk dan pepaya, datang ke lokasi sekitar pukul 09.30.

"Korban ngamarnya cuma bentar kok, engga ada setengah jam," kata Triyatno di lokasi.

Berdasarkan informasi yang ia dengar, korban sudah selesai 'main' dengan Siska. Setelah bercinta, Senen juga sempat membayar dan sudah memakai baju. Tiba-tiba korban merasa pusing lalu rebahan di kasur. Saat rebahan itulah korban kejang-kejang.

Siska dan temannya yang melihat hal itu langsung berlari ke pemilik wisma, Mia dan Sardi untuk meminta tolong. Saat dicek kembali, tubuh korban sudah tidak bergerak dengan menggenggam tas di tangan.

"Kami langsung hubungi polsek dan mayatnya dibawa ke rumah sakit," tambahnya.

Kasatreskrim Polres Semarang AKP Agus Puryadi menambahkan, dugaan sementara korban meninggal karena sakit jantung. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan dan obat-obatan terlarang dalam pemeriksaan.

Sebenarnya, korban hendak diautopsi, namun pihak keluarga menyatakan menolak dan menerima keadaan. Oleh karena itu, pihaknya menyerahkan jenazah langsung ke keluarga.

Peristiwa itu selanjutnya dilaporkan ke Polsek Bergas dan Polres Semarang. Polisi langsung datang ke lokasi untuk melakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan pemeriksaan, polisi mengevakuasi mayat korban ke RSUD Ungaran untuk di otopsi.

“Tidak ada tanda-tanda penganiayaan. Diduga kuat korban tewas karena sakit jantung,” ujar Kasat Reskrim Polres Semarang AKP Agus Puryadi.

PSK Anak di Bandarlampung

psk anak Hingar-bingar suara musik terdengar dari pojok Kampung Rawa Laut, Kelurahan Panjang Selatan, Panjang, Kota Bandarlampung.
Kawasan yang lebih dikenal dengan Pantai Harapan itu adalah eks lokalisasi yang secara resmi telah ditutup bertahun-tahun lalu, namun aktivitas transaksi seks, di antaranya melibatkan pekerja seks anak dan remaja masih terus berlangsung secara diam-diam di sini.
Semakin dekat langkah kaki, suara itu pun kian keras dan makin bersahutan dari rumah yang satu ke rumah lainnya hingga memekakkan telinga yang mendengarnya.
Sejumlah wanita berdandan menor, mengenakan rok di atas lutut dan baju setengah terbuka terutama pada bagian dada, berdiri di teras rumahnya, satu di antara mereka nampak masih berusia belia.
Sepanjang kaki melangkah di kawasan ini, antara satu rumah dengan rumah lainnya memiliki jarak yang sangat dekat.
Hampir setiap rumah terpampang sebuah papan nama bertuliskan karaoke dan kafe, masing-masing telah diberi nama sesuai dengan selera sang pemilik rumah tersebut.
Beberapa papan nama terdapat satu kalimat "Kawasan Wajib Kondom", namun masih banyak juga papan nama yang tidak mencantumkan peringatan tersebut.
"Kalau siang begini tidak begitu ramai, nanti selepas waktu Shalat Isya, mobil-mobil berangsur-angsur datang di kampung ini dan suasana malam akan semakin hidup, layaknya diskotik," kata Ketua Kelompok Pendidikan Masyarakat eks lokalisasi itu, Alwani.
Ternyata, beberapa rumah di sini masih ada yang secara tegas menuliskan pada pintu rumahnya, "Rumah Tangga".
Menurut Alwani, artinya rumah tersebut, anggota keluarganya tidak terlibat dalam perdagangan seks seperti kebanyakan rumah-rumah di sekitarnya.
Bapak tiga anak ini menceritakan, kampung itu terkenal sebagai kampung eks lokalisasi, mengingat sebelum era kepemimpinan Wali Kota Bandarlampung Nurdin Muhayat, kawasan tersebut pernah dilegalkan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung sebagai salah satu perkampungan lokalisasi (selain lokalisasi Pemandangan di Way Lunik, Telukbetung Selatan).
Perda Kota Bandarlampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tunasusila dalam Wilayah Kota Bandarlampung menjadikan dua kawasan lokalisasi itu harus ditutup secara resmi, namun aktivitas di dalamnya terus berlangsung hingga kini.
Setiap pekerja seks komersial (PSK) ketika itu diberikan identitas kartu kuning oleh pemerintah, tapi pada era Wali Kota Nurdin Muhayat, perkampungan ini tidak lagi mendapatkan dukungan dari pemerintah sebagai kawasan lokalisasi, ujar Alwani lagi.
Meskipun secara hukum kawasan tersebut telah dicabut status sebagai lokalisasi resmi, namun seperti ada kesepakatan tak tertulis, untuk saling melindungi satu dengan lainnya, sehingga suasana malam masih terus menyala dan membara di kampung itu.
Aktivitas perdagangan seks pun terus berlanjut.
Mantan Ketua RT 13 Kelurahan Panjang Selatan itu juga mengemukakan, sebenarnya keberadaan eks lokalisasi tersebut justru seperti saling menguntungkan satu dengan lainnya, secara ekonomi, sekalipun warga asli penduduk di sana merasa terganggu dengan aktivitas ilegal itu.
"Di sini ada warung atau rumah makan, ada rumah tangga yang menyediakan jasa cuci pakaian, penjualan air mineral dan air untuk kebutuhan MCK, bahkan tukang becak dan perahu yang menuai keuntungan," ujar dia lagi.
Semua aktivitas perekonomian di perkampungan tersebut berjalan lancar dan saling menguntungkan, bahu membahu satu sama lain.
Bayangkan saja, ujar Alwani, jasa tukang becak untuk mengantarkan tamu ke dalam kawasan tersebut dengan jarak tempuh tidak lebih dari satu kilometer, tarifnya bisa sebesar Rp30 ribu.
Tamu-tamu yang datang adalah mereka yang rata-rata merupakan pekerja pabrik dan pekerja di pelabuhan sekitarnya (Pelabuhan Panjang).
Guna menjaga keamanan kampung tersebut agar tidak terganggu oleh orang yang dianggap tidak suka dengan aktivitas malam di sana, warga juga ada memanfaatkan dengan menarik uang keamanan senilai Rp1.500 setiap PSK, kata dia lagi.
Secara ekonomi, kehidupan warga di kampung tersebut sangat ditopang keberadaannya oleh eks lokalisasi tersebut.
Namun di sisi lain, ada sebuah generasi yang hampir pasti akan mencontoh kehidupan yang mempertontonkan perilaku asusila di tempat ini.
Pengaruh Lingkungan
Sebut saja Mawar (17), dan Melati (19), yang masih tergolong remaja belia, akhirnya mencontoh kehidupan orang-orang di sekelilingnya, mengingat setiap saat melihat apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya itu.
Kedua remaja tersebut memilih menjadi kupu-kupu malam, karena alasan ekonomi dan pengaruh orang sekitarnya.
Menurut pengakuan mereka, pekerjaan itu ditekuni sejak tiga tahun lalu.
Mereka mengaku cukup menyukai kehidupan tersebut, karena setiap kali usai melayani lelaki hidung belang, gadis-gadis itu mampu mengantongi uang untuk jajan dan keperluan lain, sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta per malam.
"Tergantung selera tamu, jika tidak ingin pakai kondom, maka tarifnya akan lebih besar lagi, karena `kan resikonya besar," ujar Mawar, sambil menyisir rambutnya yang tergerai itu dengan jarinya.
Kedua gadis remaja tersebut mengaku tidak lagi melanjutkan sekolah, karena bagi mereka sekolah itu tidak penting.
Tapi, mencari uang dan mengikuti selera serta gaya hidup seperti umum dilakukan orang-orang di sekitar mereka itulah yang jauh lebih diutamakan.
"Kami dulu sempat mengkonsumsi obat-obatan terlarang, rasanya nyaman saja, setelah bekerja keras minum obat-obatan seperti melayang, seolah-olah masalah hidup ini lenyap pada saat itu," ujar Melati lagi.
Kehidupan yang mereka jalani selama ini, menurut keduanya, akibat faktor pengaruh dari sang pacar dan teman sekitarnya.
Namun Mawar dan Melati mengaku lambat laun sebenarnya tetap ingin meninggalkan profesi tersebut, dan kembali pada kehidupan normal selayaknya.
"Mau `sih kembali pada kehidupan yang normal dan mencari uang dengan cara yang halal, apalagi orang tua saya sudah meninggal, dan ingin membuat mereka tenang di alam sana," ujar Melati.
LSM Crisis Children Center (CCC) Lampung mengungkapkan, anak usia sekolah SMA antara 16-17 tahun memang makin rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Bandarlampung ini.
Ketua Harian CCC Lampung, Murti Rahayu mengatakan, kasus-kasus ESKA yang umum terjadi di Bandarlampung adalah kasus anak yang dilacurkan, pornografi anak, dan trafficking (perdagangan/jual beli) anak untuk tujuan seksual.
"Dalam dua tahun sejak bulan Mei 2010 hingga Mei 2012, CCC Lampung didukung oleh Save the Children Indonesia, telah melakukan pendampingan terhadap 130 orang anak korban ESKA di wilayah Bandarlampung," kata Murti pula.
Pendampingan tersebut melalui pemberdayaan dan pendidikan terhadap 130 orang anak korban eksploitasi seksual komersial, dengan rentang usia bervariasi mulai dari 14-17 tahun.
"Korban ESKA, selain mendapat konseling, juga kami didik untuk mengasah keterampilan, agar nantinya mereka bisa hidup mandiri yang lepas dari ketergantungan mengeksploitasi diri," kata dia lagi.
Menurut Murti, selama melakukan pendampingan terungkap, usia 14 tahun menempati posisi terendah dalam eksploitasi anak, yakni hanya tujuh persen.
Disusul usia 15 tahun dengan 25 persen, usia 16 tahun dengan 32 persen dan terakhir dengan jumlah tertinggi usia 17 tahun sebanyak 36 persen, ujar dia.
Seluruhnya korban Eska adalah anak yang berjenis kelamin perempuan.
Sementara korban ESKA sendiri, umumnya, kata dia lagi, tidak memandang status apakah korban masih berstatus pelajar atau sudah putus sekolah.
"Anak yang putus sekolah mencapai 81 orang anak (62 persen). Mayoritas mereka yang putus sekolah karena alasan ekonomi atau dari keluarga yang kurang mampu, sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan," kata dia.
Faktor ekonomi itulah yang menyebabkan anak terjebak menjadi korban ESKA, meskipun ada faktor-faktor pendukung lain yang mempengaruhinya.
Sedangkan PSK anak-remaja yang masih bersekolah mencapai 49 orang anak (38 persen).
Menurut Murti lagi, mereka umumnya terpengaruh pergaulan dengan teman, lingkungan keluarga yang kurang harmonis, atau pun gaya hidup modern sebagai faktor yang menyebabkan anak yang berstatus masih sekolah tersebut terjebak menjadi korban ESKA.
Anak-anak dan remaja yang semestinya mendapatkan hak pendidikan dan pendampingan penuh dari kedua orangtuanya itu, serta didukung oleh pemerintah untuk menentukan masa depan mereka, kini seperti telah kandas.
Padahal mereka tetaplah harus menjalani kehidupan selanjutnya.
Siapakah yang semestinya paling peduli, dan harus berupaya terus menerus, untuk meluruskan dan mengembalikan pada kehidupan normal anak dan remaja pekerja seks komersial di Pantai Harapan itu? (ANT316/B014)

Editor: B Kunto Wibisono